Dahulu kala, di Sumatera Barat terdapat tiga gunung
yang berdampingan. Ketiga gunung itu adalah Merapi, Singgalang, dan Gunung
Tinjau. Merapi dan Singgalang sampai kini masih ada, sedangkan gunung tinjau
tinggal bekasnya saja.
Konon dahulunya, di kaki Gunung Tinjau hidup satu kaum.
Kaum itu dipimpin oleh Datuak Limbatang. Kaum Datuk Limbatang terdiri dari
beberapa keluarga. Salah satu dari keluarga itu adalah keluarga Siti Rasani.
Siti Rasani adalah anak bungsu dalam keluarga. Ia
satu-satunya wanita dalam keluarga itu. Kakaknya berjumlah sembilan orang.
Semuanya laki-laki. Oleh sebab itu, kakaknya ini dikenal dengan Bujang
Sembilan. Sang kakak sangat menyayangi Siti Rasani. Semuanya sayang kepada
Rasani. Akan tetapi cara menyayangi adik perempuan itu berbeda-beda.
Sejak kecil, Siti Rasani dibekali dengan berbagai ilmu
pengetahuan. Budi pekerti yang baik, adat yang baik, perangai yang sempurna,
dan berbagai pendidikan sudah tertanam di dalam diri Siti Rasani sejak kecil.
Oleh kerena itu, ia tumbuh memjadi gadis yang berbudi pekerti luhur dan
berkepribadian menawan. Ia menjadi “sumarak” di dalam nagari di kaki Gunung
Tinjau itu.
Siti Rasani kecil tumbuh menjadi remaja yang cantik.
Ia sangat cantik, secantik budi dan bahasanya. Ia tumbuh menjadi gadis yang
lembut, sopan, dan penuh pengertian. Hormat kepada orang tua, sayang kepada
yang kecil, santun sesama besar menjadi pakaiannya sehari-hari dalam hidup.
Pantaslah, jika banyak orang tertarik kepadanya.
Ibarat sekuntum bunga, Rasani dipuja banyak orang.
Banyak kumbang yang meminatinya. Banyak lamaran yang datang kepadanya. Tentu
saja kesembilan kakaknya memperhatikan hal itu. Bahkan sangat hati-hati dalam
memilih calon suami Siti Rasani. Apalagi, Rasani merupakan satu-satunya anak
perempuan dalam keluarga.
Ketika Siti Rasani memasuki usia remaja itu, diam-diam
dia menjalin kasih dengan Si Giran. Si Giran adalah seseorang pemuda ganteng
dan memiliki kepribadian yang baik pula. Ia adalah anak Datuk limbatang. Anak
mamak Bujang Sembilan dan Rasani. Ketika hubungan kasih kedua insan itu
diketahui oleh kakaknya, kesembilan kakak itu mengadakan musyawarah. Mencari
kata mufakat untuk memilih dan menetapkan jodoh untuk sang adik.
Musyawarah dilakukan dua kali. Musyawarah pertama
dihadiri oleh Datuk Limbatang sebagai mamak. Musyawarah kedua, Datuk Limbatang
tidak ikut. Ia menyerahkan kepada kesembilan kakak Siti Rasani. Datuk Limbatang
akan menerima keputusan yang diambil dalam musyawarah itu. Apapun keputusannya,
Datuk Limbatang akan menerimanya. Hal ini ia lakukan, karena Si Giran adalah
anak kandungnya.
Hampir semua orang dari sembilan saudara itu
menyepakati menerima Si Giran sebagai calon suami Siti Rasani. Akan tetapi ada
seseorang kakak yang bernama Malintang, tidak sependapat. Malintang tidak
setuju, kalau Si Giran menjadi jodoh Rasani. Alasannya cukup meyakinkan, yaitu
Giran pernah menciderai Malintang, hingga sampai saat ini Malintang menjadi
pincang.
Malintang memperkuat alasannya. Tiga tahun yang lalu,
di dalam suatu keramaian, Malintang dan Si Giran diminta mempertunjukakan kebolehannya
dalam bersilat. Oleh kerena keduanya seperguruan, mereka tampil di sasaran
silat pada acara keramaian itu. Akan tetapi, Giran bermain curang. Ia ingin
memperlihatkan keunggulannya dari Malintang. Akibat kecurangannya itu, kaki
Malintang patah. Hingga kini, ia menjadi orang cacat, pincang apabila berjalan.
Itulah alasan yang diberikan Malintang.
Hampir saja terjadi pertengkaran yang lebih buruk.
Oleh kerana Malintanglah yang tidak setuju. Namun, mereka ingat pesan
almarhumah ibunya. Ibunya pernah berpesan supaya kesembilan saudar itu selalu
rukun, selalu damai, dan selalu menjaga Siti Rasani. Keputusanpun diambil.
Pesan ibunya menjadi patokan keputusan. Oleh karena ada satu orang yang tidak
setuju, semuanya sepakat untuk tidak menerima Si Giran sebagai suami Siti
Rasani.
Sejak itu, Siti Rasani diawasi dengan ketat oleh
kakak-kakaknya. Rasani tidak boleh lagi menemui Si Giran, Rasani sedih, hatinya
luka, perasaannya tersiksa. Dan kabar itu pun sampai ke telingga Si Giran.
Bahkan menyebar sampai ke seluruh warga di kaki Gunung Tinjau. Pengekangan
gerak-gerik Siti Rasani diawasi, dibatasi. Rasani tidak dibenarkan lagi datang
ke rumah Datuak Limbatang, meskipun Rasani dibesarkan di rumah itukeran semasa
kecil ibu Rasani telah meninggal. Alasan
pelarangan itu adalah untuk mencegah pertemuan Rasani dengan Giran.
Ketika ada kesempatan, Siti Rasani nekat ke luar
rumah. Ia ingin ke rumah Datuk limatang untuk mengadukan nasibnya. Akan tetapi
diam-diam diikuti oleh kakaknya. Dalam perjalanan Rasani bertemu denga Si Giran
yang hendak pergi merantau. Saat itulah kesembilan kakaknya mengeroyoki Si
Giran. Akibat perbuatannya itu Rasani harus dihukum, harus dilenyapkan dari
muka bumu ini. Oleh kerana Rasani telah membuat malu keluarga. Meskipun keputusan menghukum Rasani
itu ditantang oleh Datuk Limbatang, namun kesembilan kakaknya telah memutuskan.
Rasani harus dibuang ke dalam kawah Gunung Tinjau.
Kesembilan kakaknya sepakat untuk menutup mata dan
mengikat kaki Siti Rasani sebelum diterjunkan ke kawah gunung. Akan tetapi
Rasani menolaknya. Ia merasa tidak perlu menutup mata dan mengikat kaki. Ia
siap untuk terjun sendiri ke kawah gunung. Akan tetapi sebelum terjun ia
berikrar, jika ia bersalah jasadnya akan lenyap ditelan kawah gunung, tetapi
jika tidak bersalah, akan terjadi sesuatu di gunung itu setelah ia terjun. Pada
saat akan melompat ke dalam kawah, Si Giran datang. Giran berteriak, ia juga
ikut melompat ke dalam kawah itu bersama Siti Rasani kekasihnya.
Bujang Sembilan, kakak Rasani terkejut menyaksikan
kejadian itu. Sesaat kemudian terjadi ledakan maha dahsyat yang disusul oleh
gempa yang maha hebat. Kesembilan kakak Rasani ketakutan, ternyata ucapan
Rasani benar. Ia tidak bersalah. Giran juga tidak bersalah. Akhirnya hujan
lebat pun turun. Gunung tinjau lenyap dari permukaan bumi. Tinggal kini
genangan air yang akhirnya menjadi Danau Maninjau.
Untuk mengigat dan mengenang peristiwa tersebut, masyarakat di kaki
gunung itu memberikan nama – nama negeri dan desa sesuai dengan nama keluarga
atau kaum yang menghadapi tragedi itu. Nama – nama itu adalah: (1) Sungai
Batang untuk Datuk Limbatang; (2) Sigiran untuk Si Giran; (3) Tanjung Sani
untuk Siti Rasani; (4) Bayur untuk Panglimo Bayur; (4) Koto Malintang untuk
Malintang; (6) Batang Kurambik untuk Kurambik; (7) Simarasok untuk Marasok; (8)
Rambun Bamaniak untuk Rambun; dan (9) Gasang untuk Gasang. Begitulah
seterusnya, semua desa dan negeri itu terletak di Kecamatan Tanjung Mutiara
Kabupaten Agam.
0 komentar